Belajar Mendengar
JIKA disuruh memilih, menjadi bawahan atau atasan, Mas Celathu mengaku lebih suka jadi bawahan. Kenapa? Sambil nyengenges memamerkan deretan giginya yang full nikotin, dia bilang, ''Ya aku jelas milih jadi bawahan dong. Jadi bawahan itu enak. Banyak temannya. Jadi selalu punya kawan untuk ngrasani atasan. Kalau jadi atasan kan sendirian. Kalau ada gonjang-ganjing pemberantasan kenakalan, atasan akan kena duluan.''
''Tapi, jadi atasan kan rezekinya lebih tinggi, hayooo.''
''Rejeki memang tinggi, tapi banyak godaannya. Salah-salah tergiur korupsi.''
''Kalau iman kuat, ya tetap pantang korupsi. Lagian, jika jadi atasan, kan bisa mengatur dan menentukan arah haluan. Punya kuasa mengatur kebijakan.''
''Ya memang. Tapi saya lebih suka diatur kok. Kalau disuruh memilih, yang paling pas untuk saya, ya jadi bawahan.''
Percakapan gombal-gombalan antara Mas Celathu dan teman barunya ini, terjadi suatu malam di kedai angkringan, tempat di mana Mas Celathu sering menghabiskan waktu larutnya. Di tempat yang memungkinkan ilmu pengetahuan bisa saling dipertukarkan itu, dialog model apa pun kerap terjadi tanpa halangan.
Tidak ada sekat. Semua yang ngoceh merasa setara. Tidak ada kendala atasan-bawahan. Tiada hambatan psikis kaya-miskin. Dan biasanya berlangsung begitu saja, dari omongan bermutu laiknya cendekiawan, sampai yang sekadar tong kosong ditabuh wong edan. Dan uniknya, jawaban sekenanya atau ocehan yang sarat kemunafikan akan menjadi bumbu sedap yang sangat mengasyikkan jika didengarkan.
Misalnya, ya seperti jawaban Mas Celathu di atas. Dia mengaku ''lebih suka diatur''ñpadahal, kita tahu, aslinya dia adalah orang yang paling sulit diatur. Setiap aturan selalu ditawar, terlebih jika aturan itu diperkirakan akan membelenggu gaya hidupnya yang leda-lede seenak wudele dhewe.
Begitu pun pengakuannya bahwa dia nggak ingin jadi atasan. Pastilah gampang dicurigai, itu sekadar pernyataan lamis. Bilang tidak, padahal maksudnya iya. Ini memang pernyataan khas dari seseorang yang jauh dari peluang dan kemungkinan.
Akan lain ceritanya jika peluang kedudukan tersaji di depan mata. Pasti langsung disambar. Biasanya sih, jenis orang beginian akan langsung menikmati kekuasaan itu tanpa mempedulikan konsistensi omongannya di masa lalu.
Karena hanya sekadar omongan klas warungan, hendaklah dimaklumkan. Janganlah sekali-kali menuntut setiap pernyataan musti presisi dan berlandaskan kebenaran. Omongan di warung memang bukan dialog di sebuah mimbar akademik yang ribet dengan aneka teori.
Juga bukan omongan ala anggota Dewan yang selalu bersumber dari akurasi data dan riset penelitian. Di warung tak ada rambu-rambu yang mengatur lalu lintas pembicaraan. Sangat permisif dan longgar aturan. Bahkan, andaikan omongan hanya berisi rentetan bualan, siapa pun tak bisa mencegah. Apalagi melarang.
Karena itulah kabar angin, info gothak-gathuk atawa gosip, akan tumbuh subur di tempat beginian.
Mas Celathu bukannya tak menyadari hal ini. Justru karena empan papan, tahu di mana tempat semestinya, maka dia seperti menemukan kanal untuk melepaskan omongannya yang superngawur di warung angkringan itu.
Kadang malah ngelantur. Di sini ia bagai menemukan ruang kebebasan untuk bicara. Yang sangat menyenangkan, dia bisa memanjakan kebiasaannya mengacaukan fakta dan fiksi.
Dan jika Mas Celathu berhasil meyakinkan bualannya kepada para pejajan, dia akan terkekeh-kekeh. Terlebih apabila nantinya fiksi itu berkembang menjadi kisah yang menjelma seakan-akan sebuah fakta. ''Kena lu!'' begitu Mas Celathu membatin jika dobosannya diyakini sebagai kebenaran.
Keusilan seperti ini, bagi Mas Celathu yang bukan pejabat publik, memang tidak membawa risiko apa pun. Kalau toh kelak ketahuan hanya bualan kosong, paling banter hanya dicemooh dengan guyonan pula. Inilah yang membuat komunikasi ala warung terasa mengasyikkan.
Lain perkara jika itu terjadi di ruang-ruang terhormat dan dinyatakan orang yang berpangkat. Seumpama orang penting, misalnya wakil rakyat atau pengurus partai, terlalu sembrono bikin pernyataan yang bersumber dari gosip klas warung, buntut kisahnya pasti akan berbeda.
Misalnya priyayi berpangkat itu menyiarkan kabar angin soal kejahatan kelamin seorang pemimpin, yang bersangkutan bisa kena imbas omongannya sendiri. Salah-salah bisa diterkam pasal penghinaan, dan terjerumus ke sel penjara. Itu sebabnya, Mas Celathu selalu mengingatkan agar waspada dan hati-hati berbicara. Lihat tempatnya, lihat status ruangnya, dan lihat pula siapa yang diajak bicara.
''Lha kalau sampeyan dipaksa menjadi atasan, kira-kira apa yang akan pertama kali sampeyan lakukan,'' teman nongkrongnya bertanya lagi. Rupanya simpang siur dialog warungan belum berakhir. Topik omongan masih soal atasan dan bawahan.
''Tapi, jadi atasan kan rezekinya lebih tinggi, hayooo.''
''Rejeki memang tinggi, tapi banyak godaannya. Salah-salah tergiur korupsi.''
''Kalau iman kuat, ya tetap pantang korupsi. Lagian, jika jadi atasan, kan bisa mengatur dan menentukan arah haluan. Punya kuasa mengatur kebijakan.''
''Ya memang. Tapi saya lebih suka diatur kok. Kalau disuruh memilih, yang paling pas untuk saya, ya jadi bawahan.''
Percakapan gombal-gombalan antara Mas Celathu dan teman barunya ini, terjadi suatu malam di kedai angkringan, tempat di mana Mas Celathu sering menghabiskan waktu larutnya. Di tempat yang memungkinkan ilmu pengetahuan bisa saling dipertukarkan itu, dialog model apa pun kerap terjadi tanpa halangan.
Tidak ada sekat. Semua yang ngoceh merasa setara. Tidak ada kendala atasan-bawahan. Tiada hambatan psikis kaya-miskin. Dan biasanya berlangsung begitu saja, dari omongan bermutu laiknya cendekiawan, sampai yang sekadar tong kosong ditabuh wong edan. Dan uniknya, jawaban sekenanya atau ocehan yang sarat kemunafikan akan menjadi bumbu sedap yang sangat mengasyikkan jika didengarkan.
Misalnya, ya seperti jawaban Mas Celathu di atas. Dia mengaku ''lebih suka diatur''ñpadahal, kita tahu, aslinya dia adalah orang yang paling sulit diatur. Setiap aturan selalu ditawar, terlebih jika aturan itu diperkirakan akan membelenggu gaya hidupnya yang leda-lede seenak wudele dhewe.
Begitu pun pengakuannya bahwa dia nggak ingin jadi atasan. Pastilah gampang dicurigai, itu sekadar pernyataan lamis. Bilang tidak, padahal maksudnya iya. Ini memang pernyataan khas dari seseorang yang jauh dari peluang dan kemungkinan.
Akan lain ceritanya jika peluang kedudukan tersaji di depan mata. Pasti langsung disambar. Biasanya sih, jenis orang beginian akan langsung menikmati kekuasaan itu tanpa mempedulikan konsistensi omongannya di masa lalu.
Karena hanya sekadar omongan klas warungan, hendaklah dimaklumkan. Janganlah sekali-kali menuntut setiap pernyataan musti presisi dan berlandaskan kebenaran. Omongan di warung memang bukan dialog di sebuah mimbar akademik yang ribet dengan aneka teori.
Juga bukan omongan ala anggota Dewan yang selalu bersumber dari akurasi data dan riset penelitian. Di warung tak ada rambu-rambu yang mengatur lalu lintas pembicaraan. Sangat permisif dan longgar aturan. Bahkan, andaikan omongan hanya berisi rentetan bualan, siapa pun tak bisa mencegah. Apalagi melarang.
Karena itulah kabar angin, info gothak-gathuk atawa gosip, akan tumbuh subur di tempat beginian.
Mas Celathu bukannya tak menyadari hal ini. Justru karena empan papan, tahu di mana tempat semestinya, maka dia seperti menemukan kanal untuk melepaskan omongannya yang superngawur di warung angkringan itu.
Kadang malah ngelantur. Di sini ia bagai menemukan ruang kebebasan untuk bicara. Yang sangat menyenangkan, dia bisa memanjakan kebiasaannya mengacaukan fakta dan fiksi.
Dan jika Mas Celathu berhasil meyakinkan bualannya kepada para pejajan, dia akan terkekeh-kekeh. Terlebih apabila nantinya fiksi itu berkembang menjadi kisah yang menjelma seakan-akan sebuah fakta. ''Kena lu!'' begitu Mas Celathu membatin jika dobosannya diyakini sebagai kebenaran.
Keusilan seperti ini, bagi Mas Celathu yang bukan pejabat publik, memang tidak membawa risiko apa pun. Kalau toh kelak ketahuan hanya bualan kosong, paling banter hanya dicemooh dengan guyonan pula. Inilah yang membuat komunikasi ala warung terasa mengasyikkan.
Lain perkara jika itu terjadi di ruang-ruang terhormat dan dinyatakan orang yang berpangkat. Seumpama orang penting, misalnya wakil rakyat atau pengurus partai, terlalu sembrono bikin pernyataan yang bersumber dari gosip klas warung, buntut kisahnya pasti akan berbeda.
Misalnya priyayi berpangkat itu menyiarkan kabar angin soal kejahatan kelamin seorang pemimpin, yang bersangkutan bisa kena imbas omongannya sendiri. Salah-salah bisa diterkam pasal penghinaan, dan terjerumus ke sel penjara. Itu sebabnya, Mas Celathu selalu mengingatkan agar waspada dan hati-hati berbicara. Lihat tempatnya, lihat status ruangnya, dan lihat pula siapa yang diajak bicara.
''Lha kalau sampeyan dipaksa menjadi atasan, kira-kira apa yang akan pertama kali sampeyan lakukan,'' teman nongkrongnya bertanya lagi. Rupanya simpang siur dialog warungan belum berakhir. Topik omongan masih soal atasan dan bawahan.
''Weeehh, mosok jadi atasan kok dipaksa?
''Lho, ini kan cuma umpama.''
Karena belum bercita-cita menjadi atasan, tentu saja Mas Celathu tidak siap jawaban. Tapi, berhubungan ini hanya dialog warung yang mengizinkan orang bicara tanpa argumen, maka Mas Celathu menjawab sekenanya.
''Saya akan minta dokter mengoperasi kuping saya. Supaya daun telinga lebih lebar dari yang sekarang,'' kata Mas Celathu sambil menjumput juadah bakar,dan langsung mengunyahnya.
''Maksudnya?''
''Ya biar pendengaran lebih peka. Kalau perlu, sebelumnya saya akan mengikuti kursus, belajar menjadi seorang pendengar yang baik.''
Ngomong begitu, bukan lantaran Mas Celathu ingin menyindir. Tapi semata-mata karena gemas, sering ketemu sejumlah orang berstatus atasan, tapi begonya nggak ketulungan. Pastilah ini jenis atasan yang tidak berkenan mendengar, tapi terlalu rajin bicara.
Padahal kita tahu, status dan jabatan tidak membuat orang menjadi superman. Kedudukan tidak membuat semua persoalan dikuasai seorang atasan. Karena itulah, ada kalanya diperlukan kesediaan untuk mendengarñtermasuk kesediaan mendengarkan kritik bawahan. Jika belum terlatih untuk mendengar, ya segeralah belajar untuk bisa mendengar.
''WelhadalahÖdaleeem banget nih. Tumben ngomongnya serius.''
''He he heÖ. kalau boleh terus terang, saya kan juga pengin jadi atasan,'' kata Mas Celathu tanpa kemunafikan, sambil membuka earphone yang sedari tadi menyumbat kupingnya. Rupanya Mas Celathu juga menyadari, dirinya pun juga harus belajar mendengar.
''Lho, ini kan cuma umpama.''
Karena belum bercita-cita menjadi atasan, tentu saja Mas Celathu tidak siap jawaban. Tapi, berhubungan ini hanya dialog warung yang mengizinkan orang bicara tanpa argumen, maka Mas Celathu menjawab sekenanya.
''Saya akan minta dokter mengoperasi kuping saya. Supaya daun telinga lebih lebar dari yang sekarang,'' kata Mas Celathu sambil menjumput juadah bakar,dan langsung mengunyahnya.
''Maksudnya?''
''Ya biar pendengaran lebih peka. Kalau perlu, sebelumnya saya akan mengikuti kursus, belajar menjadi seorang pendengar yang baik.''
Ngomong begitu, bukan lantaran Mas Celathu ingin menyindir. Tapi semata-mata karena gemas, sering ketemu sejumlah orang berstatus atasan, tapi begonya nggak ketulungan. Pastilah ini jenis atasan yang tidak berkenan mendengar, tapi terlalu rajin bicara.
Padahal kita tahu, status dan jabatan tidak membuat orang menjadi superman. Kedudukan tidak membuat semua persoalan dikuasai seorang atasan. Karena itulah, ada kalanya diperlukan kesediaan untuk mendengarñtermasuk kesediaan mendengarkan kritik bawahan. Jika belum terlatih untuk mendengar, ya segeralah belajar untuk bisa mendengar.
''WelhadalahÖdaleeem banget nih. Tumben ngomongnya serius.''
''He he heÖ. kalau boleh terus terang, saya kan juga pengin jadi atasan,'' kata Mas Celathu tanpa kemunafikan, sambil membuka earphone yang sedari tadi menyumbat kupingnya. Rupanya Mas Celathu juga menyadari, dirinya pun juga harus belajar mendengar.